ZAKAT secara harfiah berarti
“suci/mensucikan” dan “bertumbuh secara berlipat-ganda”. Boleh juga
dikatakan, bahwa zakat adalah konsep atau cara “cuci uang dan
melipagandakannya” secara luar biasa plus dengan diridhoi Allah dan
menguntungkan sesama. Zakat adalah antitesis dan perlawanan total
terhadap cara melipat-gandakan dan mencuci uang yang sangat merugikan
bahkan mencekik sesama.
Dengan membayar zakat, maka kekayaan
yang kita miliki telah dibersihkan dari hak-hak orang lain; sekaligus
dengan zakat, harta yang kita miliki semakin bertumbuh berlipat ganda
dan berkembang dengan keberkahan yang menyertainya, baik bagi pribadi si
pemilik, keluarga, maupun masyarakat lingkungannya.
Dalam pengertian istilah (teknis
terminologis) zakat adalah harta yang kita bayarkan/keluarkan untuk
orang-orang/pihak-pihak tertentu yang berhak (mustahiq), yakni: kaum
fakir miskin, orang-orang susah lagi terpinggirkan, dan untuk membiayai
apa-apa yang menjadi kepentingan bersama.
Kesediaan berbagi (membayar zakat)
merupakan salah satu rukun (pilar) dari lima rukun Islam yang paling
banyak disebut dalam Qur’an (minimal 36 kali) sesudah salat, tapi
sekaligus yang bernasib paling terlantar, bahkan dibanding rukun Islam
yang paling mahal, yakni pergi haji ke Baitullah. Mungkin karena haji,
meskipun mahal tapi ada imbalan (return)-nya yang langsung bisa
dinikmati, yakni unsur traveling/rekreasi/pesiar. Sementara zakat
sepenuhnya merupakan ibadah “pengeluaran (cost) murni”.
Mengapa Zakat?
Mengapa kita harus berzakat?
Mengapa harus berbagi? Bukankah rizki (pengasilan/uang) yang kita
peroleh adalah milik kita sendiri(?) Sepintas memang begitu. Tapi
faktanya tidak seorang pun yang bisa mendapatkan pengasilan (uang)
semata-mata dengan dan dari hasil kerjanya sendiri. Manusia adalah
makhluk sosial, yang kehidupannya, bahkan keberadaannya di muka bumi,
tidak lepas dari peran dan keterlibatan orang lain.
Bahkan untuk sekadar bisa minum seteguk
air atau makan sesuap nasi pun diperlukan puluhan bahkan bisa ratusan
orang di belakangnya: mulai dari tukang masak, pembuat kompor, minyak/
kayu bakar, para petani yang menanam padi, petugas irigasi yang
menyediakan air dan seterusnya. Kita pun tahu bahwa kebutuhan manusia
tidak hanya pangan, tapi juga sandang, papan, kesehatan, pendidikan, dan
puluhan atau bahkan ratusan kebutuhan lainnya.
Kalau setiap orang selalu dalam
kebergantungan dengan dan kepada orang lain, juga dalam mendapatkan
penghasilan, maka secara moral setiap manusia yang memiliki kelebihan
rizki musti siap berbagi dengan mereka yang tidak kebagian, atau
kebagian terlalu sedikit sehingga kurang mencukupi kebutuhan hidupnya,
bahkan dalam ukuran yang paling sederhana, yakni kaum miskin papa, atau
fuqara dan masakin dan sebagainya.
Dalam kaitan ini Alqur’an menegaskan:
Bahwa di dalam harta mereka yang berpunya ada hak-hak bagi mereka yang
tidak berpunya, baik yang meminta-minta, maupun yang menerima apa adanya
(QS/51: 19).
Masalahnya, bahwa umumnya manusia
cenderung mengidap sifat kikir, enggan berbagi dengan orang lain,
kecuali ada udang di balik batu, ada kepentingan pribadi di dalamnya. Di
sinilah perlunya kehadiran lembaga publik yang punya daya paksa untuk
hadir memastikan kewajiban berbagi (zakat, Islam) itu ditunaikan
secaranya semestinya, baik dalam hal jumlah, mutu, maupun waktu dan
caranya.
Zakat itu Memperkaya
Banyak orang merasa takut berkurang kekayaannya, bahkan ada yang
dibayangi rasa takut jatuh miskin, karena bersedekah atau berzakat.
Sepintas ketakutan itu masuk akal. Akan tetapi logika itu banyak
melesetnya. Sedekah atau zakat rupanya punya logikanya sendiri.
Faktanya, hampir tidak pernah terberitakan bahwa ada dermawan yang jatuh
miskin atau tersungkur dalam kebangkrutan, karena kedermawanannya. Yang
terjadi justru sebaliknya; para dermawan, atau filantrop, bukan saja
tetap kaya, tapi bahkan semakin bertambah kaya dan kaya, plus bonus
dicintai, dihormati, dipuja dan puji oleh sesama, karena sedekah
besar-besaran yang mereka keluarkan.
Bahkan dalam logika ajaran Islam, dan
saya yakin logika semua ajaran-ajaran agama dan piwulang mulia lainnya,
para dermawan berhak mendapatkan reward (imbalan/ pahala) yang tidak
terhingga. Dalam al-Qur’an jelas-jelas dijanjikan, “Bahwa sedekah atau infak
untuk kebaikan bagi sesama balasan minimal adalah 10 kali lipat; bahkan
bisa sampai dengan 700 kali lipat, atau lebih banyak lagi sesuka Allah
yang Maha Kaya dan Maha Pemurah.
Dalam Qur’an eksplisit dikatakan:
Perumpamaan orang yang berinfak di jalan Allah (untuk Kebaikan bagi
sesama) tak ubahnya seperti layaknya orang yang menanam biji gandum/
padi yang akan menghasilkan tujuh tangkai, setiap
tangkai memberikan 100 biji, dan Allah berkenan untuk melipat-gandakan balasannya lebih banyak lagi seturut kemauan-Nya. )QS/2: 61)
tangkai memberikan 100 biji, dan Allah berkenan untuk melipat-gandakan balasannya lebih banyak lagi seturut kemauan-Nya. )QS/2: 61)
Maka, sangat valid untuk dikatakan: Jika
Anda ingin kaya dan menjadi semakin kaya, dan berlipat-ganda
kekayaannya, maka jalan yang paling terpercaya seperti dijanjikan
oleh-Nya adalah: Bersedekahlah, Berzakatlah!!! Maha benar Allah dengan
segala firman-Nya.
Oleh :
Masdar Farid Mas’udi
Anggota BAZNAS , Wakil Ketua Umum Dewan Masjid Indonesia, Rais Syuriah PBNU
0 komentar:
Posting Komentar